PRINSIP MEMPERBAIKI KESALAHAN





Masalahnya bukan apakah kita pernah/tidak pernah melakukan kesalahan? Tetapi, apakah kita memiliki keberanian untuk (secara jujur) mengakui kesalahan, bertanggung jawab terhadap kesalahan yang telah kita lakukan (menerima kosekuensi logis), dan berusaha memperbaikinya? Adakah usaha ‘mencari’  kesalahan untuk setiap tindakan (intropeksi diri) baik dalam hubungan kita dengan Tuhan atau dalam interaksi kita dengan sesama manusia, sampai dapat mengerti dan memahami apa yang ‘tidak boleh kita lakukan’ untuk waktu-waktu selanjutnya?  Berani secara jujur mengakui setiap kesalahan dan berusaha memperbaikinya, mencari kesalahan dari setiap tindakan dalam interaksi kita adalah sebuah ‘intropeksi diri’  menuju arah ‘pengembangan diri’.



Nabi bersabda, “Utamakan sikap satya dan dapat dipercaya, janganlah bergaul dengan orang yang tidak seperti dirimu dan bila bersalah janganlah takut memperbaiki!”  (Lunyu. IX: 25)

Nabi Bersbda, “Bersalah tetapi tidak mau memperbaiki inilah, inilah benar-benar kesalahan.”

(Lunyu. XV: 30)

Nabi bersabda, “Sayang aku belum menemukan orang yang setelah dapat melihat kesalahan sendiri lalu benar-benar menyesali dan memperbaiki diri.” (Lunyu. V: 27)



Hwan-thi bertamasya ke panggung pemujaan untuk memohon hujan dan bertanya, “Murid memberanikan diri bertanya, apa yang dimaksud menjunjung kebajikan,  memperbaiki kesalahan, dan menyingkirkan pikiran sesat

Nabi menjawab, “Sungguh pertanyaan yang baik. Mendahulukan pengabdian dan membelakangkan hasil, bukankah ini sikap menujunjung kebajikan? Menyerang keburukan sendiri dan tidak  menyerang keburukan orang lain, bukankah ini cara memperbaiki kesalahan? Bila suatu pagi menuruti nafsu marah lalu melupakan diri dan melupakan orangtua, bukankah itu pikiran sesat?” (Lunyu. XII: 2)



“Suatu Kesalahan tidaklah menjadi kesalahan, kecuali anda menolak untuk memperbaikinya.” (O.A. Battista)

“Orang banyak kebingungan memperbaiki lingkungannya, tetapi tidak mau memperbaiki dirinya, oleh karena itu mereka tetap tidak berubah.”

(Charles Evan Hughes)



Dari hal itu dapatlah kita sepakati beberapa tahapan dalam memperbaiki kesalahan:

1.      Berani (secara jujur) mengakui setiap kesalahan

2.      Mau bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan.

3.      Dengan tulus dan rendah hati memohon maaf.

4.      Tidak menunda untuk memperbaiki kesalahan.

5.      Tidak menyepelekan kesalahan-kesalahan kecil.

6.      Belajar dari setiap kesalahan.

7.      Membatasi kesalahan.











B.  Berani Mengakui Kesalahan



Ego mungkin menjadi penghalang utama untuk mau mengakui (secara jujur) kesalahan yang telah kita lakukan. Masalahnya bukan karena kita ‘tidak mengakui’ akan suatu kesalahan (merasa benar),  tetapi lebih karena kita ‘tidak berani mengakui’. Bahkan kalau mungkin (dengan segala cara) kita akan berusaha menutupi setiap kesalahan yang telah kita lakukan. Ironisnya, banyak orang menutupi kesalahan yang ia lakukan dengan cara menutupi dengan kebenaran (jasa) yang pernah/telah ia lakukan. Berharap orang lain akan memaklumi, metolerir kesalahnya yang ia lakukan dengan memberitakan kebenarannya yang telah ia lakukan. Dengan kata lain, orang seringkali membenturkan kesalahan dengan kebenaran, menimbangan kesalahan dan kebenaran yang ia lakukan kemudian mengurangi kebenaran dengan kesalahan, dan selanjutnya, menyimpulkan akan benar dan salah dari tindakannya itu.

Tidakan manipulasi seperti ini untuk sementara mungkin berhasil mengkondisikan orang lain untuk dapat memaklumi dan melupakan kesalahan-kesalahannya.  Tetapi, kesalah(sekecil apapun)  tetaplah kesalahan, ia tidak dapat diadu dengan kebenaran (no contak).

Penghalang (karena ego) ini mungkin menjadi lebih berat untuk mereka yang berada pada posisi ‘lebih tinggi’ (baik lebih tinggi dalam hal usia, status sosial, jabatan, dan/atau pendidikan), meskipun  (di dalam hatinya) ia mengakui akan kesalahannya.

Perhatikan pertengkaran dari dua orang yang masing-masing mengaku dirinya sebagai pihak yang benar, tidak akan pernah selesai atau bahkan untuk sekedar mereda, jika keduanya tidak pernah ada yang mau (berani dan rendah hati) mengakui kesalahan. Mungkinkah keduanya di pihak yang benar? Atau mungkin keduanya adalah salah. Tetapi memang bukan itu masalahnya. Bila salah-satu mau mengakui walaupun hanya dengan mengatakan “Mungkin saya yang salah!” pertengkaran pasti akan mulai mereda. Hal ini masih tergolong wajar kalau memang masing-masing tidak merasa sebagai pihak yang bersalah (tidak merasa bersalah). Tetapi bahkan orang tetap tidak memiliki keberanian untuk mengakui suatu kesalahan yang sebenarnya ia sudah sadari/ketahui (sungguh meyedihkan).



Nabi bersabda, “Kata-kata jujur dan beralasan, siapa tidak ingin mengikutinya; tetapi kalau dapat memperbaiki diri itulah yang paling berharga. Nasehat-nasehat yang lemah lembut siapakah yang tidak merasa suka, tetapi kalau dapat mengembangkan maksudnya, itulah yang paling berharga. Kalau hanya suka tetapi tidak mengembangkan maksudnya, ingin mengikuti tetapi tidak mau memperbaiki diri; aku tidak tahu apa yang harus kulakukan terhadap orang-orang semacam itu.” (Lunyu. IX: 24)





C.  Mau  Bertanggung Jawab



Bertanggung jawab berarti mau menerima akibat sebagai kosekuensi dari kesalahan yang telah dilakukan dan mau memperbaikinya. Berani (secara jujur) mengakui kesalahan tidak berarti sudah terlepas dari tanggung jawab untuk menanggung akibat sebagai kosekuensi dari kesalahan yang telah dilakukannya.

“Saya sudah mengakui, dan memohon maaf atas kesalahan saya, tetapi mengapa saya masih harus menerima sangsi/hukuman?”

Sebuah cara pandang yang salah menyangkut hal ‘mau bertanggung jawab atas kesalahan’. Tanggung jawab bukan hanya sebatas pada mengakui kesalahan (lalu terbebas dari akibat-akibat atas kesalahan itu). Mau bertanggung jawab berarti mau menerima kosekuensi dan kemudian mau memperbaikinya.



“Akuilah kesalahanmu dan perhatikanlah ia baik-baik. Ambilah tanggung jawab untuk memperbaikinya dan belajarlah dari kesalahan tersebut. Kesalahan adalah guru. Mengetahui apa yang tidak bekerja dapat dijadikan modal utama untuk menentukan apa yang bisa bekerja.” (Ralph Marstone)





D.  Rendah Hati Memohon Maaf



“Saya sadar bahwa saya salah, saya melakukan kesalahan kepada anda!” (sebuah keberanian untuk secara jujur mengakuinya – baik sekali..!)  “Saya mohon maaf atas kesalahan yang saya lakukan!” (sebuah sikap rendah hati – baik sekali..!) Tetapi sayang…

“Saya tidak/belum bisa memaafkan kesalahanmu !”

“Kenapa? Apa sebegitu besar kesalahan saya? Apa lagi yang harus saya lakukan? Saya sudah mengakui kesalahan saya, dan saya sudah memohon maaf ! (mulai menuntut)

“Anda sungguh keterlaluan, dan saya sangat terluka !”

“Tapi sekarang saya sudah minta maaf, kenapa anda begitu keras hati?” (mulai membuat kesalahan baru)

“Saya tidak perduli, dan saya tidak/belum bisa memaafkan kesalahanmu!”

“Anda sangat egois…!” (memperburuk kesalahan, melupakan tujuan awal) “Tuhan saja mau memaafkan kesalahan hambanya, kenapa anda tidakmau memaafkan saya.” (persepsi yang salah, ancai…sungguh menyedihkan)



Ilustrasi itu mungkin mengingatkan kita pada kenyataan dalam keseharian kita (semoga tidak terjadi pada kita!). Tetapi, seandainya hal itu terjadi pada kita (sebagai orang yang melakukan kesalahan, dan tidak mendapat maaf), apa sikap kita? Menerima dengan lapang dada? Berbalik menyalahkan? Tidak perduli? Atau… kita tetap berjuang memperbaiki kesalahannya dengan komitmen untuk tidak mengulanginya?



Nabi bersabda,

“… Mendahulukan pengabdian dan membelakangkan hasil, bukankah ini sikap menjunjung kebajikan? Menyerang keburukan sendiri dan tidak menyerang keburukan orang lain, bukankah ini cara memperbaiki kesalahan? Bila sutu pagi menuruti nafsu marah dan  lalu melupakan diri dan melupakan orang tua, bukankah ini pikiran sesat ?” (Lunyu. XII: 21. ayat 1 & 2)



Beberapa orang mungkin menjadi lupa pada tujuan pokoknya “memperbaiki kesalahan”, hanya karena mendapat benturan di langkah awal, bahwa keberanian dan kejujurannya untuk ‘mengakui’ tidak dihargai, ketulusan dan kerendahan hatinya untuk ‘memohon maaf’ tidak diterima. Maka menjadi penting memfokuskan perhatian pada tujuan pokok/awal kita “memperbaiki kesalahan”. Jangan memutar-balikan permasalahan! Kita sedang memperbaiki kesalahan, jadi kenapa malah menjadi marah hanya karena tidak atau belum dimaafkan, bukankah itu malah memperburuk kesalahan? Katakanlah orang lain memang tidak bisa memaafkan kita, (itu multak hak mereka) dan kosekuensi logis dari kelalaian/kesalahan  kita. Jangan pernah berpikir bahwa kesalahan selesai setelah kita mendapat  maaf atas kesalahan tersebut! Kejujuran untuk mengakui kesalahan dan memohon maaf adalah kewajiban kita, tetapi soal dihargai atau tidak kejujuran itu, diterima atau tidak pemohonan maaf kita jelas bukan menjadi hak kita. Jika kesalahan selesai hanya dengan mendapat maaf, maka aturan tentang pembinaan diri akan menjadi rancuh. Cobalah bayangkan! Pertama, apakah permohonan maaf seorang direktur tidak bisa diterima oleh seorang office boy?  (tentu saja dimaafkan), tetapi apakah kesalahan sang direktur selesai sampai disitu? Kedua, jika kata maaf itu dengan mudah dapat kita perolah maka kita tidak benar-benar mengerti kesalahan kita yang sebenarnya, dan tidak akan banyak belajar dari kesalahan tersebut.

Jadi, jangan  jadikan  ‘mendapat atau tidak mendapat maaf’ sebagai titik akhirnya. Terlerbih lagi dengan selalu (berusaha) memaafkan diri sendiri.

“Sembilan puluh sembilan persen kegagalan lahir dari mereka yang memiliki kebiasaan ‘memaafkan diri.” (George Washington Carver)

Lupakan hal itu, dan teruskan usaha kita “memperbaiki kesalahan!” Maka penting menyadari  segala hal yang akan menjadi penghalangnya.



Ketergantungan manusia pada orang lain

Membuat manusia selalu pamrih dan berharap pada penghargaan, dan ketika itu tidak diperoleh, marah dan sedih beriring benci dan kecewa datang menindih/melanda, mengakibatkan yang baik sirna, yang positif musna.

Ketulusan keiklasan, itu kata kuncinya. Dengan sabar menenangkan waktu, tidak membiarkan juga tidak berlawanan, itu jalan keluarnya.

Menuntut orang lain  lupa introspeksi/menuntut diri sendiri

Mengakibatkan manusia lebih bisa menyalahkan orang lain, dan bila ini terus dipelihara kemajuan muskil terjelma dan kekalahan sudah di depan mata.

Ketahanan dalam segala cobaan dan tekanan menjadi kitanya; dengan intropeksi dan selalu memacu diri dengan membangun motivasi, menciptakan keunggulan energi, tidak berhenti berusaha, inilah solusinya.



Skeptis, menyalahkan/pasrah pada nasib (Tuhan)

Membuat manusia sering hilang nalarnya, lari dari kenyataan, membangun perandaian, melihat dunia dari sisi gelapnya saja dan lupa akan Tuhan yang tak pernah meninggalkan umatnya.

Pemehaman/penerimaan akan hasil dan harapan, adalah hukumnya; dengan belajar mengerti keterbatasan dari batasan, kesiapan dalam taqwa, keyakinan dalam iman, tidak skeptis dalam kesia-sian adalah cara mengatasinya.





E.  Tidak Menunggu



Nabi Bersabda, “Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam memperbaiki kesalahan. Kebajikan, jabatan, dan waktu”



Banyak orang berkata: “Nanti (masalah waktu), kalau (seandainya) saya memiliki kapasitas tertentu (masalah jabatan), saya akan berbuat banyak bagi kepentingan umum, membereskan yang sekarang masih kacau, tapi nanti, karena sekarang saya belum memiliki kapasitas melakukan ini dan itu, saya tidak berdaya!” Atau yang lain berkata: “Nanti (masalah waktu), kalau saya sudah cukup kaya, sudah mapan (masalah jabatan), saya akan berbuat banyak bagi orang banyak, menolong  yang miskin, membantu  yang lemah, memperhatikan yang terlantar, dan sebagainya dan sebagainya…”



Pertanyaannya adalah, jika semuanya  lakukan nanti, lalu apa yang dilakukan sekarang?

Pernyataan-pernyataan di atas serupa dengan persoalan memperbaiki kesalahan. Kenapa mesti menunggu waktu? Katakanlah kita memang harus menunggu, apakah kita yakin ketika saat yang kita tunggu itu tiba kita benar-benar melakukan perbaikan dari kesalahan yang kita lakukan? Atau jangan-jangan kita malah sudah menabah buruk semuanya?







Murid bertanya kepada nabi Kongzi, “Kenapa Guru tidak memangku jabatan?”

Nabi menjawab, “Untuk membantu pemerintahan mengapa mesti memangku jabatan? Berbaktilah, itu sudah berarti membantu pemerintahan”



“Kerjakan apa yang bisa anda kerjakan, dengan apa yang anda miliki, di mana pun anda berada.”(Theodore Roosevelt)



Sederhana sekali, ‘mengapa mesti menuggu nanti’, jika banyak yang dapat kita lakukan (dengan kapasitas dan predikat kita) sekarang. Dan seperti juga disampaikan oleh Nabi Kongzi, bahwa untuk membantu orang lain maju kita tidak perlu menunggu diri kita ‘maju’, untuk membantu orang lain tegak, tidak perlu menunggu diri  ‘tegak’. Saat kita berkeinginan untuk maju dan tegak (pasti), saat itulah kita mulai membantu orang lain maju dan tegak. Tak perlu menunggu! Karena apa yang kita tunggu tak jelas kapan akan datang, sampai kita ‘maju’! Kapan?  Sampai kita ‘tegak’ Kapan?



“Tidak perlu berdebat tentang kelemahan orang lain atau merisaukan kelemahan anda sendiri. Jika memang terjadi kesalahan cukup diakui, dikoreksi dan mau mempelajari apa yang salah dengan segera.” (Stephen Covey)





F.  Tidak Menyepelekan Kesalahan kecil



Banyak hal besar bermula dari hal kecil. Serupa dengan hal itu, banyak masalah/kesalahan besar berawal dari masalah/kesalahan kecil. Maka jangan pernah menganggap masalah/kesalahan kecil sebagai suatu hal yang sepele dan mengabaikannya. Ketika satu kesalahan dibuat, saat itulah sebuah lingkaran telah dibentuk (lingkaran setan). Satu kesalahan akan memicu kesalahan lain (yang mungkin lebih buruk). Dan, penyelesaian dari suatu masalah/kesalahan tidak bisa menggunakan energi dan kemampuan  yang sama seperti ketika kita membuatnya. Jadi, diperlukan energi dan kemampuan  tiga kali lipat (mungkin lebih) untuk memperbaiki suatu kesalahan (agar kita dapat ke luar dari ‘lingkaran setan’ yang mulai terbentuk). Keberanian untuk (secara jujur) mengakui kesalahan saja sudah memerlukan energi yang dua kali lipat daripada energi yang kita keluarkan ketika kita membuat kesalahan itu. Usaha memperbaiki dan komitmen untuk tidak mengulanginya (jelas!) memerlukan energi yang lebih besar lagi.

             Jangan pernah menyepelekan kesalahan (sekecil apapun) kesalahan itu. Ia tidak pernah selesai tanpa ada usaha untuk memperbaiki dan komitmen untuk tidak mengulanginya. Jika (untuk sementara) tidak menimbulkan akibat/efek, bukan berarti telah selesai dengan sendirinya. Ia hanya tertunda/tertahan sementara, dan tanpa kita sadari itu akan menjadi pemicu kesalahan-kesalahan kita yang lain, sampai pada satu ketika, ia akan muncul dalam bentuk (akibat) yang lebih buruk (lebih buruk dari yang kita bayangkan).

”Masalah yang tidak diungkapakan tidak akan pernah mati, ia hanya terkubur sementara, dan akan bangkit lagi dalam bentuk yang lebih buruk.”



            Sepuluh (dari sepuluh orang) yang menyepelekan kesalahan-kesalahan kecil terjerat dalam lingkaran, semakin terjerat, semakin terikat, dan semakin sulit melepaskan diri (keluar) dari lingkaran kesalahan. Jika telah demikian (keadaannya) mungkin memerlukan tenaga, kemampuan dan kemauan yang seribu kali lipat dari pada saat ia membuat kesalahan-kesalahan itu, (sungguh mengkhawatirkan!).



“Kebaikan sebelum terhimpun tidak cukup untuk menyempurnakan nama. Kejahatan/kesalahan sebelum terhimpun tidak cukup untuk membinasakan badan. Orang rendah budi menganggap kebaikan kecil tidak bermanfaat lalu tidak dilakukan; kejahatan/kesalahan kecil dianggap tidak melukai (tidak berbahaya), lalu tidak disingkirkan (dihindari). Dengan demikian, kejahatan terhimpun sehingga tidak dapat ditutupi lagi; dosanya menjadi demikian besar sehingga tidak dapat dihapus/diampuni. (Babaran Agung. B  Bab V: 38)



“Orang banyak kebingungan memperbaiki lingkungannya, tetapi tidak mau memperbaiki dirinya, oleh karena itu mereka tetap tidak berubah.” (Charles Evan Hughes)





G.  Belajar Dari Kesalahan



            Masalahnya bukan apakah seseorang  pernah atau tidak pernah  melakukan kesalahan (tak ada orang yang luput dari kesalahan), maka (rasanya) cukup beralasan bila ada ungkapan “kesalahan itu manusiawi”, tetapi juga adalah hal yang (mestinya) dapat diterima bila ungkapan lain mengatakan, “hanya rusa bodoh yang terjerembab dua kali di lobang yang sama”. Jadi mengapa kita tidak belajar dari setiap kesalahan yang kita lakukan? Atau, kita membiarkan diri menjadi rusa bodoh?



“Kesalahan terjadi karena penilaian yang kurang tepat, tetapi kesalahan memberikan kita pengalaman untuk selanjutnya membuat kita dapat memberikan penilaian yang tepat.



Demikianlah, penilaian yang kurang tepat menimbulkan kesalahan, sementara kesalahan itu sendiri  memberikan pengalaman dan pengalaman  menjadikan kita memiliki penilaian yang tepat. Belajar secara terus-menerus, inilah yang dimaksud belajar melalui belajar. Membuat kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Penilaian yang baik berasal dari pengalaman, sementara pengalaman berasal dari penilaian yang kurang tepat.”



“Sebagian besar kemajuan saya  adalah belajar dari kesalahan. Anda akan ditunjukan oleh apa yang positif dalam diri anda ketika anda membuang yang negatif.” (Buckminster Fuller)



            Kekhawatiran akan kegagalan adalah dorongan dari keinginannya untuk sukses/berhasil. Serupa dengan hal itu, maka kekhawatiran melakukan kesalahan adalah dorongan untuk selalu bertindak tepat/benar. Tetapi masalahanya, kekhawatiran yang berlebihan bisa jadi merupakan sebab utama dari kegagalan dan/atau kesalahan itu sendiri.



“Kesalahan terbesar yang anda lakukan adalah  membiarkan bayang-bayang rasa takut bahwa anda akan membuat kesalahan.” (Ellen Hubbard)





H.  Membatasi  Kesalahan



Nabi Bersbda, “Orang yang dapat membatasi dirinya, sekalipun mungkin berbuat salah, pasti jaranglah terjadi.” (Lunyu. IV: 23)



Ini bukanlah sebuah upaya untuk ‘luput dari kesalahan’. (sulit untuk dapat dikatakan mungkin). Tetapi kita (sangat mungkin) membatasi diri untuk mengeliminir kesalahan. Hal penting dalam usaha membatasi diri dari kesalahan adalah dengan menyadari baik-baik sifat/kepribadian kita, karena dari situlah kesalahan-kesalahan mulai kita lakukan.





Nabi bersabda, “Adapun kesalahan seseorang itu masing-masing sesuai dengan sifatnya. Bahkan dari kesalahannya dapat diketahuiapakah ia seorang yang berpericinta kasih.” (Lunyu. IV: 7)



Perhatikanlah! “Kesalahan orang itu masing-masing sesuai dengan sifatnya.” Yang pendiam dan yang pandai bicara, yang berpenampilan lembut/perasa dan yang keras/tegas, yang rapi/perlente dan yang santai/urakan, dan semua jenis kepribadian/sifat seseorang adalah peluang/celah untuk melakukan kesalahan. Yang pendiam menjadi tetap diam pada saat seharusnya ia bicara (ini kesalahan). Yang pandai/suka bicara menjadi terus bicara pada saat ia seharusnya diam (ini kesalahan). Yang lembut/perasa menjadi mudah menduga-duga berdasarkan perasaannya (ini kesalahan). Yang santai/urakan menjadi tetap santai dan urakan pada saat seharusnya ia bersikap rapi/tertib (ini kesalahan). Si ‘perayu’ yang ramah dengan kata-kata manisnya ia terus mengumbar rayuan dan kata-kata manis pada saat seharusnya ia tegas (ini kesalahan).

Hati-hati dengan sifat/kepribadian kita, karena dari situlah kita sering melakukan kesalahan. Menyadari akan sifat kepribadian kita adalah langkah awal untuk membatasi diri dari kesalahan. Sanyangnya, seringkali orang tidak perduli dengan semua itu, ia mengatakan (dengan angkuhnya)  “Saya tidak perduli dengan orang lain (terserah mereka mau bilang apa. Memang beginilah saya adanya, inilah sifat/kepribadian saya. Apa urusannya dengan orang lain, yang pentingkan saya tidak merugikan/mengganggu mereka!”

Secara prinsip, menunjukkan jati diri kita pada orang lain memang tidak masalah, teruskan saja! tetapi jangan terlalu sombong atas semua itu yang membuat kita (benar-benar tidak perduli) dan menjadi lupa diri. Kita memang tidak perlu berubah (menjadi seperti orang lain), tetapi juga jangan sampai seperti batu, kita hanya perlu menyesuaikan diri (menyelaraskan sifat/kepribadian kita dengan kondisi lingkungan). Bukan harus selalu seperti apa kita adanya, tetapi dengan siapa kita berada? Serupa dengan hal itu, yang penting bukanlah apa yang akan kita ucapkan, tetapi kepada siapa kita mengatakannya. Yang penting bukan bagaimana kita bersikap dan berpenampilan, tetapi kita sedang dalam situasi dan kondisi seperti apa.

Diam pada saat seharusnya bicara (ini menyembunyikan sesuatu), bicara pada saat seharusnya diam (ini namanya lancang). Bicara pada orang yang seharusnya tidak diajak bicara, ini berarti kehilangan kata-kata, dan tidak berbicara pada orang yang seharusnya diajak bicara, ini berarti kehilangan orang. Seorang Junzi tidak akan kehilangan kata-kata atau kehilangan orang.



“…Bahkan dari kesalahan (karena sifatnya) dapat diketahui akan cinta kasihnya.”



Karena sifat lembut/perasa membentuk rasa empati yang tinggi dalam jiwa seseorang, ini mungkin membuat dia seperti orang “bodoh” yang rela menyengsarakan dirinya sendiri untuk menolong orang lain (ini kesalahan), tetapi dari hal itu dapat dilihat pericinta kasihnya. Karena sifat keras hatinya untuk tidak menodai ‘kesetian’ akan kata-kata/janji yang telah diucapkan, ia rela kehilangan kepala karena dianggap gagal melaksanakan tugas (ini kesalahan), tetapi dari hal itu nampak  jelas akan kesetian dan cinta kasihnya.